penjelasan tentang isbal 1
PENJELASAN TentAng ISbal
isbal (memanjangkan pakaian hingga
di bawah kedua mata kaki bagi lelaki) termasuk perbuatan dosa yang diremehkan
oleh sebagian umat. Sementara hadits-hadits tentang larangan berisbal-ria telah
mencapai derajat mutawatir maknawi, lebih dari dua puluh sahabat
meriwayatkannya (lihat risalah Syaikh Bakr Abu Zaid yang berjudul Hadduts Tsaub
hal 18)
Para ulama telah sepakat bahwasanya
isbal itu haram jika dilakukan karena sombong. Akan tetapi mereka berselisih
pendapat jika isbal dilakukan bukan karena sombong. Akan tetapi kita dapati
pernyataan para ulama yang tidak menyatakan haram bagi isbal tanpa kesombongan,
mereka menyatakan bahwa isbal tanpa kesombongan hukumnya makruh (dibenci oleh
Allah). Karenanya bisa kita katakan bahwa para ulama sepakat jika isbal tanpa
kesombongan adalah makruh.
Jika yang kita dapati orang-orang
yang berisbal ria adalah orang-orang awam yang tidak mengetahui maka masih bisa
kita maklumi, akan tetapi yang menyedihkan adalah sebagian para juru dakwah
yang sengaja berisbal ria, bahkan mencibirkan orang yang tidak isbal. Padahal
minimal hukum isbal tanpa kesombongan adalah makruh. Apalagi pendapat yang
lebih kuat bahwasanya hukumnya adalah haram meskipun tanpa kesomobongan, dan
semakin bertambah keharamannya jika disertai dengan kesombongan, jika kita memahami bahwa dibolehkannya isbal yang dilakukan bukan karena sombong, tentu tidak bisa kita mengatakan bahwa Rasulullah salallahu 'alaihi wassallam, adalah orang yang sombong, karena beliaulah orang yang bersemangat untuk tidak isbal, dijelaskan bahwa pakaian Rasulullah Salallahu 'alaihi wasallam adalah setengah betisnya, maka jelas oranag yang isbal karena sombong sungguh telah menyelisishi sunnah, dan jika isbal tidak karena sombong maka jelas dalilnya, ((Apa saja dari sarung yang di bawah mata kaki maka
di neraka)),
Diantara dalil yang digunakan untuk menyatakan bahwa isbal –jika tanpa kesombongan- tidaklah haram akan tetapi hanyalah makruh adalah :
Pertama : Hadits-hadits yang berbicara tentang pengharaman isbal, selain ada yang bersifat muthlaq, juga ada yang muqoyyad dengan kesombongan, sehingga hadits yang muthlaq harus diperjelas dengan hadits yang muqoyyad.
Diantara dalil yang digunakan untuk menyatakan bahwa isbal –jika tanpa kesombongan- tidaklah haram akan tetapi hanyalah makruh adalah :
Pertama : Hadits-hadits yang berbicara tentang pengharaman isbal, selain ada yang bersifat muthlaq, juga ada yang muqoyyad dengan kesombongan, sehingga hadits yang muthlaq harus diperjelas dengan hadits yang muqoyyad.
Kedua : Kisah Abu Bakar As-Shiddiq (penjelasan takhrijnya akan
datang) yang melakukannya bukan karena sombong. Di hadapan syariat, saya dan
Abu Bakar sama sederajat. Tindakan yang boleh dilakukan Abu Bakar, otomatis
boleh juga saya kerjakan. Demikian juga rukhshoh yang dikantongi Abu Bakar juga
berhak saya dapatkan.
Sebelum kita membahas sanggahan
terhadap dua dalil ini, perlu kita ketahui bahwasanya diantara sunnah-sunnah
Nabi adalah adab berpakaian yang syar’i. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa
sallam telah memberi perhatian yang cukup besar tentang tata cara berpakaian
karena penampakan luar menunjukan apa yang ada didalam hati manusia. Oleh
karena itu jika kita memperhatikan model pakaian manusia sekarang maka kita
dapati masing-masing mereka memakai pakaian yang menggambarkan akhlak mereka.
Orang yang suka kekerasan tentunya pakaiannya berbeda dengan pakaian orang yang
menyukai kelembutan, demikian pula orang yang sombong tentunya gaya
berpakaiannya berbeda dengan orang yang tawadlu. Oleh karena itu Rasulullah
shallallahu ‘alihi wa sallam melarang kita meniru-niru gaya berpakaian Yahudi
dan Nasrani demikian juga gaya berpakaian majusi. Rasulullah shallallahu ‘alihi
wa sallam juga melarang meniru gaya berpakaian orang yang sombong. Berisbal ria
merupakan gaya berpakaian orang-orang yang sombong. Bahkan isbal sendiri
merupakan kesombongan. Maka tidaklah sepantasnya kita mengikuti tata cara
berpakaian orang yang sombong.
Sesungguhnya tidak ada orang yang
lebih bertakwa dan lebih tawadlu’ serta lebih bersih hatinya dari kesombongan
daripada Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam. Kita lihat bagaimanakah sifat
baju beliau karena sesungguhnya baju beliau menggambarkan tawadlu beliau.
إزاره إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ
“(Ujung) sarung Rasulullah
shallallahu ‘alihi wa sallam hingga tengah kedua betis beliau” (HR At-Thirmidzi di As-Syama’il dan dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Mukhtashor As-Syamail Al-Muhammadiyah no 97)
Dan hadits Abu Juhaifah:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ وَعَلَيْهِ حُلَّةً حَمْرَاءَ
كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى بَرِيْقِ سَاقَيْهِ
Saya melihat Rasulullah shallallahu
‘alihi wa sallam memakai baju merah, seakan-akan saya melihat putih kedua
betis beliau (HR Al-Bukhori no 633)
Jika Nabi shallallahu ‘alihi wa
sallam ujung baju dan sarung beliau hingga tengah betis padahal dia adalah
orang yang paling bertakwa dan paling jauh dari kesombongan bahkan beliau
tawadlu kepada Allah dengan memendekkan baju dan sarung beliau hingga tengah
betis dan beliau takut ditimpa kesombongan serta ujub, maka mengapa kita tidak
meneladani beliau??
SANGGAHAN DALIL PERTAMA:
Sebelum pembahasan perlu kiranya
mengetahui hadits-hadits seputar masalah isbal baik yang muthlaq maupun yang
muqoyyad.
Hadits tentang isbal yang mutlaq
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ :مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَفِي النَّارِ
(رواه البخاري )
Dari Abu Hurairah, dari Nabi- beliau bersabda :“Apa saja yang di bawah mata kaki maka di neraka”
Dari Abu Hurairah, dari Nabi- beliau bersabda :“Apa saja yang di bawah mata kaki maka di neraka”
Al-Khattabi menjelaskan, “Maksudnya,
bagian kaki yang terkena sarung yang di bawah dua mata kaki di neraka (bukan
sarungnya-pent). Nabi menggunakan kata pakaian sebagai kinayah (kiasan) untuk
(anggota) badan.” Ta’wil seperti ini jika huruf( مِنْ )dalam hadits adalah
bayaniah. Namun jika (مِنْ) dalam hadits bermakna sababiah maka yang dimaksud
adalah pemakai pakaian yang musbil (Fathul Baari :10/317). Nafi’, seorang
tabi’in, ditanya tentang hal ini, maka beliau menjawab, “Apa dosa baju? Tapi yang
diadzab adalah dua kaki.” (Fathul Baari :10/317)
Ibnu Hajar berkomentar, “… Tidak
masalah untuk mengarahkan hadits ini sesuai dengan makna lahiriahnya (dlohir).
Seperti ayat:
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ
دُوْنِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ
Yang artinya: “Sesungguhnya
kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah menjadi bahan bakar api neraka.
” (QS. Al-Anbiya: 98). (Dan diantara sesembahan orang musyrik Arab adalah
patung-patung benda mati, namun ikut masuk ke neraka -pen)
Atau ancaman tersebut tertuju pada
obyek tempat terjadinya kemaksiatan (dalam hal ini adalah kain celana yang
melewati mata kaki) sebagai isyarat bahwa pelaku maksiatnya tentu lebih pantas
untuk terkena ancaman tersebut (Fathul Baari :10/317).
Syaikh Utsaimin menerangkan: “Jangan
heran kalau adzab hanya terlokalisir pada anggota tubuh tempat timbulnya
maksiat (tidak mencakup seluruh badan -pen). Karena Rasulullah tatkala melihat
para sahabatnya tidak menyempurnakan wudlu mereka, beliau berteriak lantang:
وَيْلٌ لِّلْأَعْقَابِ مِنَ النَّار (Api neraka bagi tumit-tumit). Di sini,
Rasulullah menempatkan lokasi adzab bagi tumit-tumit yang tidak terbasuh air
wudlu. Maka siksaan bisa mencakup seluruh badan -seperti membakar seluruh tubuh
manusia dan bisa hanya mengenai anggota tubuh tempat terjadinya mukholafah
(pelanggaran) tersebut. Hal ini bukan perkara aneh (Syarah Riyadus Solihin:
2/523).
Hadits tentang isbal karena
kesombongan
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam
telah bersabda :
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ
يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang menjulurkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan memandangnya pada hari Kiamat”. (HR. Bukhari 5788 dari hadits Abu Hurairah dan Muslim 5424 dari hadits Ibnu Umar)
“Barang siapa yang menjulurkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan memandangnya pada hari Kiamat”. (HR. Bukhari 5788 dari hadits Abu Hurairah dan Muslim 5424 dari hadits Ibnu Umar)
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ
قَالَ :” ثَلَاثَةٌ لا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا يَنْظُرُ
إِلَيْهِمْ وَلا يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلٍيْمٌ”,قَالَ :فَقَرَأَهَا
رَسُوْلُ اللهِ ثَلاثَ مِرَارٍ .قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ :”خَابُوا وَ خَسِرُوْا. مَنْ
هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ :”المُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنْفِقُ
سِلْعَتَهُ بِالْحَلْفِ الْكَاذِبِ”
Dari Abu Dzar dari Nabi, beliau
bersabda :”Tiga golongan yang tidak akan diajak komunikasi oleh Allah pada hari
Kiamat dan tidak dilihat dan tidak (juga) disucikan dan bagi mereka adzab yang
pedih. ” Abu Dzar menceritakan, “Rasulullah mengulanginya sampai tiga kali. “,
“Sungguh merugi mereka, siapakah mereka wahai Rasulullah ?” tanya Abu Dzar.
Nabi menjawab: “Orang yang isbal, orang yang mengungkit-ngungkit sedekahnya
dan penjual yang bersumpah palsu.” (HR Muslim I/102 no 106)
Walaupun kalimat musbil mutlaq dalam
hadits ini, namun para ulama sepakat maknanya membidik isbal yang dikuti
perasaan sombong. Alasannya, adanya kesamaan hukum (tidak dilihat oleh Allah
pada hari kiamat) sebagaimana ditunjukkan kandungan hadits Ibnu Umar yang lalu.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ قَالَ: “بَيْنََا رَجُلٌ يَجُرُّ إِزَارَهُ إِذْ خُسِفَ بِهِ, فَهُوَ
يَتَجَلْجَلُ فِي الأَرْضِ إِلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Dari Ibnu Umar, bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda: “Tatkala seorang laki-laki
sedang mengisbal sarungnya, tiba-tiba bumi terbelah bersamanya., Maka diapun
berguncang-guncang, tenggelam di dalam bumi hingga hari Kiamat” (HR. Bukhari
no: 5790)
Hukum membawa mutlaq ke muqoyyad
Ada empat kondisi ihwal mutlaq dan
muqoyyad yang saling berhadapan:
1. Masing-masing hukum dan sebabnya
sama.
2. Hukum keduanya sama namun
sebabnya berbeda
3. Sebab keduanya sama namun
hukumnya berbeda
4. Masing-masing memiliki hukum dan
sebab yang berbeda.
Keadaan pertama:
Jika hukum dan sebabnya sama maka
mutlaq harus dibawa ke muqoyyad berbeda dengan pendapat Abu Hanifah. Contohnya
firman Allah:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَ
الدَّمُ
Artinya: Diharamkan atas kalian
(memakan) bangkai dan darah (Al-Maidah :3) (mutlaq)
Dengan ayat :
أَوْ دَمًا مَسْفُوْحًا
Artinya: …atau darah yang
mengalir (Al-An’am : 145) (muqoyyad)
Maka darah yang dimaksud dalam surat
Al-Maidah ayat 3 tersebut adalah darah yang mengalir karena ditaqyid dengan
surat Al-An’am ayat 145.
Keadaan kedua:
Jika hukumnya sama namun sebabnya
berbeda seperti firman Allah tentang kaffaroh (denda) membunuh:
رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
Artinya: …hamba sahaya yang beriman
(An-Nisa 92) dengan firman Allah tentang kafarah sumpah dan dzihar
رَقَبَة
Artinya:…hamba sahaya
(Al-Maidah: 89, Al-Mujadalah: 3) tanpa ditaqyid dengan unsur keimanan hamba
sahaya.
Dalam hal ini, Malikiah dan sebagian
Syafi’iah berpendapat mutlaq dibawa ke muqoyyad sehingga disyaratkan keimanan
pada budak untuk kaffaroh sumpah dan dzihar. Adapun mayoritas Hanafiah dan
sebagian Syafi’iah dan satu riwayat dari Imam Ahmad memilih bahwa mutlaq tidak
perlu diangkat pada nash muqoyyad.
Keadaan ketiga:
Adapun jika hukumnya berbeda dan
sebabnya sama maka sebagian ulama berpendapat mutlaq tidak dibawa ke muqoyyad
(ini juga merupakan pendapat Ibnu Qudamah). Ulama yang lain berpendapat bahwa
mutlaq dibawa ke muqoyyad. Contohnya puasa dan membebaskan budak karena dzihar,
keduanya ditaqyid dengan firman Allah:
مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
Artinya: …sebelum kedua suami
istri itu bercampur..( Al-Mujadalah :3)
Adapun memberi makan orang miskin
mutlaq tanpa taqyid (pengarahan tertentu), maka harus ditaqyid juga dengan
(..sebelum kedua suami istri itu bercampur..).
Keadaan keempat:
Jika sebab dan hukumnya berbeda maka
para ulama telah sepakat bahwa mutlaq tidak dimasukkan ke dalam nash muqoyyad
(Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi, Mudzakkiroh Usul Fiqh hal 411-412).
Berkaitan dengan perkara isbal,
ternyata nash mutlaq dan nash muqoyyad menyinggungnya. Namun nash mutlaq tidak
diikat nash muqoyyad. Sebab nash-nash yang ada termasuk kategori keadaan yang
ke empat. Tidak ada khilaf dikalangan para ulama bahwa pada keadaan yang
keempat (sebab dan hukumnya berbeda) mutlaq tidak boleh dibawa ke muqoyyad.
Penjelasan Syaikh Utsaimin
Syaikh Utsaimin menjelaskan :
“Mengisbalkan pakaian ada dua bentuk :
Bentuk yang pertama: Menjulurkan
pakaian hingga ke tanah dan menyeret-nyeretnya. Bentuk yang kedua: Menurunkan
pakaian hingga dibawah mata kaki tanpa berakar pada kesombongan.
Jenis yang pertama adalah
orang yang pakaiannya isbal hingga sampai ke tanah disertai kesombongan. Nabi
shallallahu ‘alihi wa sallam telah menyebutkan, pelakunya menghadapi empat
hukuman : Allah tidak berbicara dengannya pada hari Kiamat, tidak melihatnya
(yaitu pandangan rahmat), tidak menyucikannya serta mendapat adzab yang pedih.
Inilah empat balasan bagi orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong…
Sedangkan pelaku isbal tanpa
disertai kesombongan maka hukumannya lebih ringan . Dalam hadits Abu Hurairah,
Nabi berkata: (Apa yang dibawah mata kaki maka di neraka). Nabi tidak
menyebutkan kecuali satu hukuman saja. Juga hukuman ini tidak mencakup
seluruh badan, tetapi hanya khusus tempat isbal tersebut (yang di bawah mata
kaki). Jika seseorang menurunkan pakaiannya hingga di bawah mata kaki maka dia
akan dihukum (bagian kakinya) dengan api neraka sesuai dengan ukuran pakaian
yang turun dibawah mata kaki tersebut, tidak merata pada seluruh tubuh (Syarah
Riyadhus Sholihin 2/522-523, Syaikh Utsaimin).
Hukum orang yang mengisbalkan
bajunya karena sombong adalah: Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat,
tidak berbicara dengannya, tidak menyucikannya, serta mendapat adzab yang
pedih. Adapun orang yang menurunkan pakaiannya dibawah mata kaki maka hukumnya
“di neraka” saja, dan ini adalah hukum juz’i (lokal) yang khusus (hanya
menyangkut bagian tubuh yang pakaiannya melewati mata kaki saja-pent). Maka
kalau kita geser mutlaq ke muqoyyad berkonsekuensi salah satu hadits
mendustakan hadits yang lainnya.
Perhatikanlah titik penting ini. Jika hukum berbeda, lalu mutlaq dibawa ke muqoyyad (seperti
permasalahan isbal) maka berdampak pada pendustaan salah satu hukum terhadap
hukum lainnya. Karena jika engkau jadikan (Apa yang di bawah mata kaki di
neraka) hukumnya seperti orang yang isbal karena sombong,….hukumnya jadinya
apa?? Sanksinya bukan hukum khusus tetapi hukumannya (hukum yang pertama) naik
menjadi lebih berat (berubah menjadi hukum yang kedua, dengan empat ancaman,
sebagaimana telah lalu). Dan ini berarti hukum yang ada di hadits yang pertama
adalah dusta.
Jenis aktifitasnya juga berbeda.
Yang pertama menurunkan pakaiannya hingga dibawah mata kaki dan tidak sampai ke
tanah tetapi dibawah mata kaki adapun yang kedua kerena dia menyeret-nyeret
pakaiannya” (Syarah Usul min ilmil usul hal 335-336)
Dengan demikian maka kita mengetahui
lemahnya pendapat Imam Nawawi tentang haramnya isbal karena sombong dan
makruhnya isbal jika tanpa disertai takabur . Yang benar hukumnya adalah haram,
sama saja karena sombong atau tidak. Bahkan faktanya, isbal ada adzab yang
khusus, diancam dengan neraka kalau tanpa sombong, dan jika karena sombong maka
diancam dengan empat hukuman. (Syarh Riyadlus Saalihin 2/523)
Hadits-hadits yang menunjukkan tidak dibawanya mutlaq ke muqoyyad
Hadits yang pertama
Adanya hadits-hadits tentang
larangan isbal secara mutlaq. Diantaranya:
Dari Al-Mugiroh bin Syu’bah berkata,
” Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata:
يَا سُفْيَانُ بنِ سَهْلٍ لا تُسْبِلْ
فَإِنَّ اللهَ لا يُحِبُّ الْمُسْبِلِيْنَ
“Wahai Sufyan bin Sahl, Janganlah
engkau isbal!. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang isbal.” (HR
Ibnu Majah II/1183 no 3574 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam
As-Shahihah no 4004)
Dan hadits Hudzaifah, berkata,
“Rasulullah memegangi betisnya dan berkata: “Ini adalah tempat sarung (pakaian
bawah), jika engkau enggan maka turunkanlah,
فَإِنْ أَبَيْتَ فَلا حَقَّ
لِلإِزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ dan jika enggau enggan maka tidak ada haq
bagi sarung di kedua mata kaki.”( HR At-Thirmidzi III/247 no 1783, Ibnu
Majah II/1182 no 3572, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah
V/481 no 2366).
Berdasarkan tekstual (dlohir) hadits
ini, izar (pakaian bawah) tidak boleh diletakkan di mata kaki secara mutlaq,
baik karena sombong atau tidak. (lihat As-Shahihah 6/409)
Berkata Nabi shallallahu ‘alihi wa
sallam ,
نِعْمَ الَّجُلُ خَرِيْم الأَسَدِي
لَوْلا طُوْلُ جُمَّتِهِ وَإِسْبَالُ إِزَارِه
“Sebaik-baik orang adalah Khorim
Al-Asadi, kalau bukan karena panjangnya jummahnya dan sarungnya yang isbal.”
(Berkata Syaikh Walid bin Muhammad, “Hadits hasan lighairihi, diriwayatkan
oleh Ahmad (4/321,322,345) dari hadits Khorim bin Fatik Al-Asadi. Dan pada
isnadnya ada perowi yang bernama Abu Ishaq, yaitu As-Sabi’i dan dia adalah
seorang mudallis, dan telah meriwayatkan hadits ini dengan ‘an’anah. Namun
hadits ini ada syahidnya (penguatnya) yaitu dari hadits Sahl bin Al-Handzoliah
yang diriwayatkan oleh Ahmad (4/179,180) dan Abu Dawud (4/348) dan pada
sanadnya ada perowi yang bernama Qois bin Bisyr bin Qois At-Thaglabi, dan tidak
meriwayatkan dari Qois kecuali Hisyam bin Sa’d Al-Madani. Berkata Abu Hatim:
Menurut saya haditsnya tidak mengapa. Dan Ibnu Hibban menyebutnya di
Ats-Tsiqoot. Berkata Ibnu Hajar tentang Hisyam: “Maqbul” –yaitu diterima
haditsnya jika dikuatkan oleh riwayat yang lain dari jalan selai dia, dan jika
tidak ada riwayat yang lain (mutaba’ah) maka haditsnya layyin-. Dengan demikian
derajat hadits ini adalah hasan lighoirihi, alhamdulillah. Dan hadits ini telah
dihasankan oleh Imam An-Nawawi dalam Riadhus Sholihin”, lihat Al-Isbal, hal 13)
Hadits yang kedua
عَنْ عَمْرٍو بْنِ الشَّرِيْدِ قَالَ:
أَبْعَدَ رَسُوْلُ اللهِ رَجُلاً يَجُرُّ إِزَارَهُ فَأَسْرَعَ إِلَيْهِ, أَوْ
هَرْوَلَ فَقَالَ: “اِرْفَعْ إِزَارَكَ وَاتَّقِ اللهَ!” قَالَ:”إِنيِّ أَحْنَفَ
تَصْطَلِكُ رُكْبَتَايَ, فَقَالَ: “اِرْفَعْ إِزَارَكَ فَإِنَّ كُلَّ خَلْقِ اللهِ
حَسَنٌ”. فَمَا رُئِيَ ذَلِكَ الرَّجُلُ بَعْدُ إِلاَّ إِزَارُهُ يُصِيْبُ
أَنْصَافَ سَاقَيْهِ أَوْ إِلَى أَنْصَافَ سَاقَيْهِ
Dari ‘Amr bin Syarid, berkata,
“Rasulullah melihat dari jauh seseorang yang menyeret sarungnya (di tanah) maka
Nabi pun bersegera segera atau berlari kecil untuk menghampirinya. Lalu beliau
berkata, “Angkatlah sarungmu dan bertakwalah kepada Allah!” Maka orang tersebut
memberitahu, “Kaki saya cacat (kaki x-pen), kedua lututku saling menempel.”
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam tetap memerintahkan, “Angkatlah sarungmu.
Sesungguhnya seluruh ciptaan Allah indah.” (Setelah itu) orang tersebut tidak
pernah terlihat lagi kecuali sarungnya sebatas pertengahan kedua betisnya.”
(HR. Ahmad IV/390 no 19490, 19493 dan At-Thobrooni di Al-Mu’jam Al-Kabiir
VII/315 no 7238, VII/316 no 7241. Berkata Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa’id
V/124, “Dan para perawi Ahmad adalah para perawi As-Shahih”. Lihat Silsilah
As-Shahihah no:1441)
Hadits ini dengan kasat mata
menegaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam tetap memerintahkan
orang ini meski isbal bukan timbul dari rasa congkak, tetapi hanya bertujuan
untuk menutupi kekurangannya (cacat). Bahkan Rasulullah tidak memberinya maaf. Bagaimana
dengan kaki kita yang tidak cacat…? tentunya kita malu dengan sahabat orang
tersebut yang rela terlihat cacatnya demi melaksanakan sunnah Nabi shallallahu
‘alihi wa sallam.
Hadits yang ketiga
Hadits yang memadukan kedua bentuk
isbal dalam satu redaksi :
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِي قَالَ
: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ :”إِزَارُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ, وَلا حَرَج
– أَوْ وَلا جُنَاح – فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ, فَمَا كَانَ
أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ, مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ
Dari Abu Said Al-Khudri berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda: Sarung seorang muslim hingga tengah
betis dan tidak mengapa jika di antara tengah betis hingga mata kaki. Segala
(kain) yang di bawah mata kaki maka (tempatnya) di neraka. Barang siapa yang
menyeret sarungnya (di tanah-pent) karena sombong maka Allah tidak melihatnya.”
(HR. Abu Daud no: 4093, Malik no: 1699, Ibnu Majah no: 3640. Hadits ini
dishahihkan oleh Imam Nawawi dalam Riyadus Shalihin, Syaikh Albani dan Syaikh
Syu’aib Al-Arnauth)
Syaikh Utsaimin menjelaskan bahwa
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam menyebutkan dua bentuk amal tersebut (isbal
secara mutlaq dan isbal karena kesombongan-pen) dalam satu hadits, dan
memerinci perbedaan hukum keduanya karena adzab keduanya berlainan. Artinya,
kedua amal tersebut ragamnya berbeda sehingga berlainan juga pandangan hukum
dan sanksinya. (As’ilah Muhimmah hal:30, sebagaimana dinukil dalam Al-Isbal
hal: 26)> Hadits ini juga mendukung tidak perlunya membawakan nash yang
mutlaq pada nash yang muqoyyad.
Hadits yang keempat
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ :قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ : “: مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ”, فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ :”فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ
بِذُيُوْلِهِنَّ ؟” قَالَ :”يُرْخِيْنَ شِبْرا”, فَقَالَتْ :”إِذاًَ تَنْكَشِفُ
أَقْدَامُهُنَّ”, قَالَ :”فَيُرْخِيْنَهُ ذِرَاعًا لا يَزِدْنَ عَلَيْهِ”
Dari Ibnu Umar, beliau berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersada: Barang siapa menjulurkan
pakaiannya (di tanah) Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Ummu
Salamah bertanya, “Apa yang harus dilakukan para wanita dengan ujung-ujung baju
mereka?” Rasulullah menjawab, “Mereka menurunkannya (di bawah mata kaki)
hingga sejengkal.” Kalau begitu akan tersingkap kaki-kaki mereka”, jelas
Ummu Slamah. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata (lagi):, “Mereka
turunkan hingga sehasta dan jangan melebihi kadar tersebut”.(HR
At-Thirmidzi IV/223 no 1731 dan berkata, “Ini adalah hadits hasan shahih”,
An-Nasa’i VIII/209 no 5337 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Ibnu Hajar mengkritik pandangan Imam
Nawawi, isbal hanya haram saat bergandengan dengan kesombongan, dengan berkata:
“…Kalau memang demikian, untuk apa Ummu Salamah istifsar (bertanya) berulang
kali kepada Nabi tentang hukum para wanita yang menjulurkan ujung-ujung baju
mereka?. Salah seorang Ummahatul Mukminin ini memahami bahwa isbal dilarang
secara mutlaq baik karena sombong atau tidak, maka beliau pun menanyakan
tentang hukum kaum wanita yang isbal lantaran mereka harus melakukannya untuk
menutupi aurat mereka, sebab seluruh kaki perempuan adalah aurat. Maka Nabi pun
menjelaskan, bahwa para wanita berbeda dari kaum laki-laki dalam hukum larangan
isbal…” (Fathul Baari 10/319).
Syaikh Al-Albani memaparkan : “Nabi
tidak mengizinkan para wanita untuk isbal lebih dari sehasta karena tidak ada
manfaat di dalamnya (karena dengan isbal sehasta kaki-kaki mereka sudah
tersembunyi -pen), maka para lelaki lebih pantas dilarang untuk menambah
(panjang celana mereka, karena tidak ada faedahnya sama sekali)” (Ash-Shahihah
VI/409)
Berkata Ibnu Hajar (Fathul Bari
10/319): Hadits Ummu Salamah ada syahidnya dari hadits Ibnu Umar diriwayatkan
oleh Abu Dawud melalui jalan Abu As-Siddiq dari Ibnu Umar, beliau berkata:
رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ لأُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ شِبْرًا ثُمَّ اسْتَزَدْنَهُ
فَزَادَهُنَّ شِبْرًا Rasulullah memberi rukhsoh (keringanan) bagi para
Ummahatul mu’minin (istri-istri beliau) (untuk menurunkan ujung baju mereka)
sepanjang satu jengkal, kemudian mereka meminta tambah lagi, maka Rasulullah
mengizinkan mereka untuk menambah satu jengkal lagi (HR Abu Dawud no
4119, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani. Lihat juga As-Shahihah no 460).
Perkataan Ibnu Umar “Rasulullah memberi rukhsoh” menunjukan bahwa hukum isbal
pada asalnya haram, atau hukum menaikkan pakaian diatas mata kaki hukumnya
adalah wajib. Karena kalimat “rukshoh” (keringanan/dispensasi) biasanya
digunakan untuk menjatuhkan hal-hal yang asalnya adalah wajib (atau untuk
melakukan hal-hal yang asalnya terlarang) karena suatu sikon.
Hadits yang kelima :
وَلا تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ
الْمَعْرُوْفِ وَ أَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَ أَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ,
إِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَعْرُوْفِ وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ,
فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ, وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الإِزَارِ
فَإِنَّهَا مِنَ الْمَخِيْلَةِ وَ إِنَّ اللهَ لا يُحِبُّ الْمَخِيْلَةَ
“Dan janganlah engkau meremehkan
kebaikan sekecil apapun. Engkau berbicara dengan saudaramu sambil bermuka manis
juga merupakan kebaikan. Angkatlah sarungmu hingga tengah betis! jika engkau
enggan maka hingga dua mata kaki. Waspadalah engkau dari isbal karena sesungguhnya
hal itu (isbal) termasuk kesombongan. Dan Allah tidak menyukai
kesombongan.” (HR. Ahmad (V/64) no 20655, Abu
Dawud (IV/56) no 4084, dan dari jalannya Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro
(X/236) no 20882, Ibnu Abi Syaibah (V/166) no 24822, Abdurrozaq dalam
mushonnafnya (XI/82) no 19982, At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir (VII/63)
no 6384 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
Ibnul ‘Arabi menggariskan,
“Seseorang tidak boleh menjulurkan pakaiannya melewati mata kakinya kemudian
berkilah : “Saya tidak menjulurkannya karena kesombongan”. Karena larangan
(dalam hadits) telah mencakup dirinya. Seseorang yang secara hukum terjerat
dalam larangan, tidak boleh berkata (membela diri), saya tidak mengerjakannya
karena ‘illah (sebab) larangan pada hadits (yaitu kesombongan) tidak muncul
pada diri saya. Hal seperti ini adalah klaim (pengakuan) yang tidak bisa
diterima, sebab tatkala dia memanjangkan ujung pakaiannya sejatinya orang tadi
menunjukan karakter kesombongannya.”
Usai menukil ungkapan Ibnu ‘Arabi di
atas, Ibnu Hajar menetapkan : “Kesimpulannya, isbal berkonsekuensi (melazimkan)
pemanjangan pakaian. Memanjangkan pakaian berarti (unjuk) kesombongan walaupun
orang yang memakai pakaian tersebut tidak berniat sombong.” ( Fathul Baari
10/325)
Walhasil, isbal yang bebas dari niat
untuk sombong adalah kesombongan juga. Dan jika berkombinasi dengan selipan
sombong maka menjadi sombong kuadrat.
SANGGAHAN DALIL KEDUA
Kisah Abu Bakar As-Shidiq
kadang-kadang menjadi acuan alternatif sebagian orang untuk melegalisasikan
isbal yang dilakukannya. Berikut ini redaksinya:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ
اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ : يَا رَسُوْلَ اللهِ,
إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ
مِنْهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ : لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
Dari Ibnu Umar, dari Nabi
shallallahu ‘alihi wa sallam, beliau bersabda, ” Barang siapa yang menyeret pakaiannya
(di tanah) karena sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat.”, Abu
Bakar mengeluh “Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu sisi sarung (pakaian
bawah)ku (melorot) turun (melebihi batas mata kaki) kecuali kalau aku
(senantiasa) menjaga sarungku dari isbal”. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam
mengatakan :”Engkau bukan termasuk yang melakukannya karena sombong.” (HR
Al-Bukhari no 5784)
Dengan berbekal tekstual tanya-jawab
di atas, tersimpul ungkapan demikian:”Saya isbal bukan lantaran sikap sombong
persis seperti pengakuan kepada Rasullah shallallahu ‘alihi wa sallam, tanpa
ada unsur takabur. Saya dan Abu Bakar memiliki kedudukan sama di depan hukum
Allah, apa yang boleh bagi Abu Bakar maka boleh juga bagi saya. Kalau Abu Bakar
boleh untuk isbal tanpa sombong maka saya pun juga boleh melakukannya.”
Maka jawabannya :
Ibnu Hajar menjelaskan :”Sebab
isbalnya sarung Abu Bakar adalah karena tubuhnya yang kurus”. (Fathul Baari
10/314)
Ibnu Hajar menambah, “Pada riwayat
Ma’mar yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (redaksinya):
إِنَّ إِزَارِي يَسْتَرْخِي
أَحْيَانًا
Sesungguhnya sarungku terkadang
turun .” (Fathul Baari 10/314)
Abu Bakar adalah orang yang kurus,
jika beliau bergerak, berjalan atau melakukan gerakan yang lainnya, pakaian
bawahnya (izar), melorot turun tanpa disengaja. Namun jika beliau menjaga
(memperhatikan) sarungnya maka tidak menjadi turun.
Hadits ini menunjukan bahwa secara
mutlak, tidak masalah, sarung yang terjulur di bawah mata kaki kalau
tanpa sengaja (Fathul Baari 10/314), sebagaimana Rasulullah pernah
mengisbal sarung beliau tatkala tergesa-gesa untuk shlolat gerhana matahari.
Abu Bakroh menceritakan:
خَسَفَتِ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ
النَّبِيِّ, فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلاً حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ
“Terjadi gerhana matahari dan kami
sedang berada di sisi Nabi, maka Nabi pun berdiri dalam keadaan mengisbal
sarung beliau karena tergea-gesa, sampai memasuki masjid.” (HR
Al-Bukhari no 5785)
Ibnu Hajar berkesimpulan, “Pada
hadits ini (terdapat dalil) bahwa isbal (yang muncul) dengan alasan ketergesaan
tidak termasuk dalam larangan” (Al-Fath 10/315)
Ada beberapa point untuk mencounter
orang yang bepegang erat dengan hadits Abu Bakar:
1. Sangat tepat bahwa anda dan Abu
Bakar sama kedudukannya di mata hukum, apa yang menjadi dispensasi bagi Abu
Bakar juga berlaku bagi saudara. Akan tetapi, apakah isi kalbu anda sama persis
dengan yang terdapat dalam hati Abu Bakar??!!.
2. Abu Bakar kita pastikan tidak
sombong karena ada nash sharih dan persaksian dari Nabi shallallahu ‘alihi wa
sallam bahwasanya Ash-Shiddiq tidak sombong. Kalau saudara bisa menghadirkan
persaksian Nabi bahwa saudara bebas dari kecongkakan saat berisbal-ria, maka
kami sami’na wa atha’na. Bahkan Syaikh Utsaimin sendiri menantang: “Jika kami
mengingkarimu maka silahkan kau potong lidah kami”. Namun ini mustahil,
bagaimana mungkin anda membawakan mendatangkan persaksian Rasulullah. (Syarh
Al-Ushul min ‘ilmil ushul 335)
3. Isbal yang terjadi pada Abu Bakar
bukan karena faktor kesengajaan. Beliau bahkan menghindarinya, namun karena
beliau orang yang tidak berbadan gemuk, akibatnya pakaian bawah beliau melorot
turun di bawah mata kaki. Adapun anda, sengaja melakukannya, bahkan kepada
penjahit, anda menginsruksikan “panjangkan celanaku (sekian),”, “turunkan
celanaku (sekian)”.
4. Anggaplah argumentasi anda itu
benar bahwa isbal tanpa kesombongan tidak bermasalah, namun secara implisit,
jika saudara sedang isbal berarti saudara sedang memproklamirkan diri bahwa
saudara bukanlah orang yang sombong tatkala sedang berisbal. Padahal Allah
berfirman : فَلا تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى .
Artinya: “Maka Janganlah Kalian mentazkiah diri kalian, Allah lebih tahu
siapa yang bertaqwa”
5. Berkaitan dengan kisah Abu Bakar
radhiyallahu ‘anhu, tidak ada satu riwayat pun yang menceritakan, usai
mendengarkan pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam tersebut di
atas, lantas beliau ia berisbal ria sepanjang hari. Pada prinsipnya, riwayat
tersebut menunjukkan bahwa pakaian bawah beliau tidak melewati mata kaki, akan
tetapi tanpa disengaja turun, sehingga beliau harus menariknya kembali. Berbeda
dengan mereka yang dari awal pakaiannya melebihi mata kaki, dengan demikian
kisah Abu Bakar tidak bisa dijadikan sebagai pegangan.
Sebuah renungan…
Sombong adalah masalah hati. Saat
menegur orang yang isbal sebagaiamana yang dipraktekan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alihi wa sallam demikian juga para sahabat, mereka tidak pernah
sama sekali bertaanya sebelum menegur: “Apakah engkau melakukannya karena
sombong? Kalau tidak, no problem. Kalau benar lantaran sombong, angkat
celanamu!” Seandainya isbal tanpa diiringi sombong diijinkan, artinya tatkala
menegur orang yang isbal seakan-akan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam
sedang menuduhnya sombong. Demikian juga para sahabat tatkala menegur orang
yang isbal berarti telah menuduhnya sombong. Padahal kesombongan tempatnya di
hati, sesuatu yang sama sekali tidak diketahui oleh Rasulullah shallallahu
‘alihi wa sallam dan para sahabat.
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa
sallam bersabda : إِنِّي لَمْ أُوْمَرْ أَنْ أُنَقِّبَ قُلُوْبَ النَّاسِ .
Artinya: “Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk mengorek isi hati
manusia .” (HR :Bukhari no 4351)
Syaikh Bakr Abu Zaid berargumen,
“Kalau larangan isbal hanya hanya bertautan dengan sikap sombong, tidak
terlarang secara mutlak, maka pengingkaran terhadap isbal tidak boleh sama
sekali, karena kesombongan merupakan amalan hati. Padahal telah terbukti
pengingkaran (Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallamdan para sahabat) terhadap
orang yang isbal tanpa mempertimbangkan motivasi pelakunya. (sombong atau
tidak).” (Haduts Tsaub hal 22)
Ibnu Umar bercerita, “Saya melewati
Rasulullah dan sarungku isbal, maka Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam
berkomentar: “Wahai Abdullah, angkat sarungmu!”. Aku pun mengangkatnya. “Angkat
lagi!”,kata beliau lagi. Maka aku pun tambah mengangkatnya. Setelah itu, aku
selalu memperhatikan sarungku (agar tidak isbal)”. Sebagian orang menanyakan:
“Sampai mana (engkau mengangkat sarungmu)?”. Ibnu Umar menjawab: “Hingga tengah
dua betis” (HR: Muslim 5429)
Syaikh Al-Albani berkesimpulan:
“Kisah ini merupakan bantahan kepada para masyaikh (para kyai, pen) yang
memanjangkan jubah-jubah mereka hingga hampir menyentuh tanah dengan dalih
mereka melakukannya bukan karena sombong. Mengapa mereka tidak meninggalkan
isbal tersebut demi mengikuti perintah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam kepada
Ibnu Umar (untuk mengangkat sarungnya) ataukah hati mereka lebih suci dari isi
hati Ibnu Umar?” (As-Shahihah 4/95).
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa
sallam tetap menegur Ibnu Umar, padahal Ibnu Umar sebuah figur yang jauh dari
kesombongan, bahkan beliau termasuk sahabat yang mulia dan paling bertakwa,
namun Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam tidak membiarkannya isbal, beliau
tetap memerintahkannya untuk mengangkat sarungnya. Bukankah ini menunjukan
bahwa adab ini (tidak isbal) tidak hanya berlaku pada orang yang berniat
sombong saja ?.
Bahkan Ibnu Umar sangat takut
dirinya terjatuh dalam kesombongan karena memakai pakaian yang menunjukan kesombongan
Dari Qoz’ah berkata, “Aku melihat
Ibnu Umar memakai pakaian yang kasar atau tebal, maka aku berkata kepadanya,
“Sesungguhnya aku datang kepadamu membawa sebuah baju yang halus yang dibuat di
Khurosaan dan aku senang jika aku melihat engkau memakainya.” Ibnu Umar
berkata, “Perlihatkanlah kepadaku”, maka beliaupun memegangnya dan berkata,
“Apakah ini dari kain sutra?”. Aku berkata, “Bukan, ia terbuat dari kain
katun”. Beliau berkata, “Sesungguhnya aku takut untuk memakainya, aku takut aku
menjadi seorang yang sombong lagi membanggakan diri dan Allah tidak suka semua
orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Siyar A’laam An-Nubalaa’ III/233)
Berkata Adz-Dzahabi mengomentari
kisah ini, “Setiap pakaian yang menimbulkan pada disi seseorang sikap sombong
dan membanggakan diri maka harus ditinggalkan meskipun pakaian tersebut bukan
terbuat dari emas ataupun kain sutra. Karena sesungguhnya kami melihat seorang
pemuda yang memakai jenis pakaian mahal yang harganya empat ratus dirham dan
yang semisalnya, dan sikap sombong dan angkuh nampak sekali dalam cara
jalannya, maka jika engkau menasehatinya dengan kelembutan maka ia akan
menentang dan berkata, “Tidak ada rasa angkuh dan rasa sombong (pada diriku)”.
Padahal Ibnu Umar takut rasa angkuh menimpanya.
Demikian juga engkau melihat seorang
ahli fikih yang hidupnya mewah jika ditegur karena celananya yang molor hingga
di bawah dua mata kaki dan dikatakan kepadanya bahwa Nabi shallallahu ‘alihi wa
sallam telah bersabda, ((Apa saja dari sarung yang di bawah mata kaki maka
di neraka)), maka ia berkata, “Sesungguhnya ini hanya berlaku pada orang
yang menjulurkan sarungnya karena sombong, dan aku tidaklah melakukannya karena
sombong”, maka engkau lihat dia menentang dan berusaha menyatakan bahwa dirinya
yang bodoh itu terbebas dari sifat sombong, dan ia pergi ke dalil yang umum
(yang tidak menyebutkan kesombongan –pen) lalu ia khususkan dengan hadits lain
yang terpisah yang menyebutkan kesombongan. Dia juga mencari dispensasi
dengan berdalil dengan perkataan Abu Bakar As-Shiddiiq, “Wahai Rasulullah,
sarungku molor (hingga di bawah mata kaki)”, maka Rasulullah shallallahu ‘alihi
wa sallam berkata, “Engkau tidaklah termasuk orang-orang yang melakukannya
karena sombong”.
Maka kami katakan, “Abu Bakar
tidaklah mengencangkan sarungnya di bawah mata kaki sejak awal, akan tetapi
beliau mengencangkan sarungnya di atas mata kaki kemudian berikutnya sarungnya
tersebut molor”…dan hukum larangan ini juga berlaku pada orang yang
memanjangkan celana panjangnya hingga menutupi mata kaki….” (Siyar A’laam
An-Nubalaa’ III/234)
Bukti lain, Nabi shallallahu ‘alihi
wa sallam juga menegur Jabir bin Sulaim, seorang penduduk dari Tsaqif (lihat :
As-Shahihah no 1441), dan ‘Amr bin Zuroroh Al-Anshori, merekapun akhirnya
mengangkat sarung mereka hingga tengah betis (Lihat Hadduts Tsaub, hal 22) .
PERINGATAN (1) : Jika ada yang berkata : Ngapain membahas hukum isbal?, toh
ini hanya permasalahan qusyur (kulit) agama, bukan masalah inti agama !!!
Kita katakan :
Para ulama dalam banyak
tulisan-tulisan mereka telah menggandengkan antara hukum-hukum ibadah dan
mu’amalah. Contohnya bisa kita lihat dalam buku-buku hadits seperti Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan yang lainnya, demikian juga dalam buku-buku
fiqh Islam, maka kita akan dapati kitabul Adab dan kitabul Libaas (pakaian)
berkaitan dengan ibadah seperti sholat dan puasa (Dan masalah isbal selain
disebutkan oleh para ulama dalam bab tersendiri dia juga disebutkan oleh para
ulama dalam bab sholat (yaitu berkaitan dengan pakaian dalam sholat). Hal ini
menunjukan bahwa Islam memperhatikan dengan perkara-perkara ini (yang kalian
anggap sebagai kulit semata) sebagaimana perhatian Islam terhadap ibadah. Allah
telah berfirman,
مَّا فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن
شَيْءٍ (الأنعام : 38 )
“Tiadalah Kami lupakan sesuatu
apapun di dalam Alkitab .”(QS. 6:38)
Orang-orang musyrik berkata kepada
Salman Al-Farisi, “Sesungguhnya Nabi kalian mengajarkan kepada kalian segala
sesuatu hingga adab buang air”, maka Salman berkata, “Benar, sesungguhnya ia
telah melarang kami buang air besar atau buang air kecil sambil menghadap
kiblat, atau kami beristinja’ (cebok) dengan menggunakan tangan kanan, atau
kami beristinja’ dengan batu kurang dari tiga, atau kami beristinja’ dengan
menggunakan kotoran atau tulang.” (HR Muslim I/223 no 262)
Seandainya isbal itu hanya sekedar
perkara kulit agama, apa yang mendorong Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan
para shahabat, demikian juga para ulama meyibukkan diri mereka untuk
memperingatkan orang dari perkara kulit tersebut (baca: isbal)??. Nabi
shallallahu ‘alihi wa sallam sebagaimana telah lalu begitu bersemangat
mengingatkan orang yang isbal. Karena terlalu bersemangatnya hingga beliau
sambil berlari-lari kecil untuk memperingatkan orang tersebut. Demikian juga
semangat para sahabat untuk mengingatkan orang dari isbal.
Muhammad bin Ziad berkata, “Tatkala
melihat seseorang menyeret sarungnya (isbal), Saya mendengar Abu Hurairah
meneriaki sambil menginjak-injakkan kakinya ke tanah, dan ketika itu Abu
Hurairah adalah amir (penguasa) Bahrain: “Amir telah datang, Amir telah datang!
Rasulullah pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada orang yang
mengisbal sarungnya karena sombong.” (HR: Muslim :5430)
Cermatilah, bagaimana semangat Abu
Hurairah dalam mengingatkan orang tersebut padahal Abu Hurairah ketika itu
adalah seorang amir, namun kedudukannya tidak menyibukkan dia untuk tidak
bernahi munkar. Dia tidak memandang isbal adalah perkara sepele sehingga
dibiarkan saja mengingat kedudukannya yang tinggi sebagai penguasa Bahrain, yang
tentunya adatnya seorang penguasa adalah penuh dengan kesibukan dengan
perkara-perkara besar. Kapan kita menggebu-gebu untuk memperingatkan
saudara-saudara kita dari isbal??
Ibnu Abdil Barr berkata, “Termasuk
riwayat yang paling mengena tentang hal ini, apa yang diriwayatkan oleh Sufyan
bin Uyaiynah dari Husain dari ‘Amr bin Maimun berkata: “Tatkala Umar ditikam,
manusia berdatangan menjenguk beliau. Diantara pembezuk, seorang pemuda dari
Quraisy. Ia memberi salam kepada Umar. (Begitu hendak bergegas pergi) Umar
melihat sarung pemuda tersebut dalam keadaan isbal, serta-merta beliau
memanggilnya kembali dan berkata, “Angkat pakaianmu karena hal itu lebih bersih
bagi pakaianmu dan engkau lebih bertaqwa pada Rabbmu.” (Selengkapnya lihat
Bukhari no:3700). ‘Amr bin Maimun berkomentar :” Kondisi Umar ( yang kritis)
tidak menghalanginya untuk menyuruh anak muda tadi agar mentaati Allah.”
(Fathul Malik Bi tabwibi At-Tamhid 9/384)
Berkata Ibnu Umar tatkala melihat
sikap ayahnya ini,
عَجَبًا لِعُمَرَ إِنْ رَأَى حَقَّ
اللهِ عَلَيْهِ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مَا هُوَ فِيْهِ أَنْ تَكَلَّمَ بِهِ
“Umar sungguh menakjubkan, jika ia
melihat hak Allah (yang wajib ia tunaikan) maka tidak akan mencegahnya
kondisinya (yang sekarat tersebut) untuk berbicara (menegur) hak Allah tersebut.”
(Mushonnaf Ibni Abi Syaibah V/166 no 24815)
Apakah kita menuduh Umar di akhir
hayatnya dalam keadaan sekarat dengan perut yang robek hingga cairan yang
beliau minum keluar melalui robekan tersebut, masih sempat-sempat memperhatikan
masalah kulit agama?? Apa tidak ada masalah lain yang lebih signifikan hingga
beliau sibuk-sibuk memperingatkan orang dari isbal padahal kondisinya sudah
kritis??
Derajat hadits-hadits yang melarang
isbal telah mencapai derajat mutawatir maknawi. Selayaknya kaum muslimin memperhatikan
hal ini Sesungguhnya seluruh perkara yang menarik perhatian Nabi shallallahu
‘alihi wa sallam adalah penting, walaupun masyarakat menganggapnya sepele. Oleh
karena itu, seorang muslim tidak boleh meremehkan dosa apapun. Bukankah Nabi
shallallahu ‘alihi wa sallam telah bersabda , “Hati-hatilah terhadap
dosa-dosa yang diremehkan.” (HR. Ahmad I/402 no 3818, V/331 no 22860 dan
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 3102)
عن حميد بن هلال قال قال عبادة بن قرط
إنكم تأتون أشياء هي أدق في أعينكم من الشعر كنا نعدها على عهد رسول الله صلى الله
عليه وسلم الموبقات قال فذكروا لمحمد صلى الله عليه وسلم قال فقال صدق أرى جر
الإزار منه
Berkata Humaid bin Hilaal, “Ubadah
bin Qorth –radhiallahu ‘anhu- berkata, “Sesungguhnya kalian akan melakukan
perkara-perkara yang menurut kacamata kalian lebih ringan daripada sehelai
rambut, namun menurut kami di zaman Rasulullah termasuk (dosa-dosa besar) yang
membinasakan. Mereka pun menyebutkan perkataan Ubadah bin Qorth ini ke Muhammad
bin Sirin, maka dia berkata, “Ia telah berkata benar dan menurutku mengisbal
sarung termasuk perkara-perkara yang membinasakan tersebut.” (Atsar riwayat
Imam Ahmad dalam musnadnya III/470 no 15897, V/79 no 20769. Dan perkataan
‘Ubadah bin Qorth ini diucapkan oleh Anas bin Malik sebagaimana diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dalam shahihnya V/2381 no 6127)
Sungguh indah perkataan orang yang
berkata, “Kalau bukan karena kulit tentu isi (buah) telah rusak.”
PERINGATAN (2)
Jika ada yang nyeletuk : Haramnya
isbal itu hanya pada izar (sarung), tidak berlaku pada pakaian model lain
karena hadits-hadits isbal hanya menyinggung sarung. Pakaian bawah lainnya,
celanan panjang misalnya, tidak mencakupnya .
Jawabannya :
Ini adalah syubhat yang aneh yang
dilontarkan oleh orang-orang yang ingin lari dari hukum isbal. Hatinya tidak
betah jika ia tidak isbal, wal ‘iyaadzu billah.
Adz-Dzahabi mengomentari hadits
isbal: (“Sarung seorang mukmin hingga tengah betis”): “Hukum ini umum, mencakup
sirwal (celana panjang), tsaub, jubah, …dan pakaian yang lainnya”.
Berkata At-Thobari, “Datangnya
kalimat izar (sarung) dalam hadits-hadits karena sebagian besar orang pada
zaman Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam memakai sarung dan rida’ (pakaian
atas). Tatkala orang-orang memakai qomis dan jubah maka hukumnya adalah hukum
sarung. Berkata Ibnu Battol, “ini adalah qiyas yang shohih, walaupun tidak
datang nas (dalil khusus) yang menyebutkan tsaub (jubah) maka sesungguhnya
larangan mencakup tsaub…” (Fathul bari 10/323)
Syaikh Bin Baz memaparkan, “Khitob
(redaksi satu nash) jika memakai hukum yang gholib/dominan (خَرَجَ مَخْرَجَ
الْغَالِبِ), maka tidak terpakai mafhumnya…..Hal ini sudah ma’ruf di kalangan
para ulama, bahkan ini merupakan pendapat mayoritas Ahli Usul.”
Hal ini dikarenakan, pada masa Nabi
shallallahu ‘alihi wa sallam, sarunglah yang paling sering dipakai. Imam Ahmad
menambah: “Sarung adalah pakaian mereka (para sahabat)” (Lihat Fathul Bari,
Ibnu Rojab Al-Hambali 2/175)
Syaikh Abdulmuhsin Al-’Abbad juga
telah menegaskan bahwasanya kebanyakan hadits menyebutkan sarung (tidak
menyabutkan gomis atau celana panjang-pen), karena sarung mudah untuk terjulur
di bawah mata kaki karena banyak gerak atau berjalan. Berbeda dengan gomis, ia
tidak mudah terjulur. (Lihat Ad-Dalil hal 25)
Ibnu Abdil Barr, “… hanya saja isbal
pada qomis atau jenis pakaian yang lain tercela dalam setiap
keadaan (isbal juga tercela walaupun tidak sombong -pen).” (Fathul Malik bi
tabwibi At-Tamhid 9/384)
Ditambah lagi, ada juga hadits yang
umum yang menunjukan bahwa pakaian apa saja melewati batas dua tumit, hukumnya
haram.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ :مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَفِي النَّارِ
(رواه البخاري )
Dari Abu Hurairah, dari Nabi-
bersabda :”Apa saja yang di bawah mata kaki maka di neraka”
Dan مَا mausulah memberi faedah
umum, mencakup izar, celana, dan pakaian yang lainnya.
Renungan…
Renungan…
Pendapat untuk membawa nash yang
mutlaq ke nash yang muqoyyad (dalam masalah isbal), pendukungnya menetapkan
isbal tanpa kesombongan makruh dan tercela.
Imam Nawawi mengatakan:”…Tidak boleh
mengisbal sarung dibawah mata kaki jika karena kesombongan. Namun jika tidak
karena kesombongan maka makruh…“[Minhaj 14/287, 2/298 Kitabul Iman]
Ibnu Abdil Barr berkata : “… hanya
saja isbal pada qomis atau jenis pakaian yang lain tercela dalam setiap
keadaan (isbal juga tercela walaupun tidak sombong -pen).” [Fathul Malik bi
tabwibi At-Tamhid 9/384]
Lantas, mengapa sebagian kita yang
telah mengetahui makruhnya isbal walau tanpa disertai kesombongan masih saja
isbal?. Kenapa kita, yang berperan sebagai penuntut ilmu dan calon da’i sudah
membiasakan diri kita sejak dini untuk melakukan hal yang makruh?. Apa salahnya
kita membiasakan diri dengan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam
dan menghidupkannya. Bukankah Allah telah berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ
اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةُ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الْأَخِرَ
Artinya: “Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat.” (Al-Ahzab :
21)
Ini adalah sebuah nasehat, barang
siapa yang terkena syubhat dalam masalah isbal kemudian telah jelas baginya
hukum isbal yang sesungguhnya, hendaknya dia segera berhenti dari isbalnya,
seperti yang dilakukan seorang pemuda yang memakai pakaian dari san’a dalam
keadaan isbal, maka Ibnu Umarpun menegurnya, seraya berkata: “Wahai pemuda,
kemarilah!”. Pemuda itu berkata: “Ada perlu apa, wahai Abu Abdirrohman?”. Ibnu
Umar berkata: “Celaka engkau, apakah engkau ingin Allah melihatmu pada hari
Kiamat?”. Dia menjawab: “Maha suci Allah, apa yang mencegahku hingga tidak
menginginkan hal itu?”. Ibnu Umar berkata: “Saya mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda: “Allah tidak melihat….”. Maka
pemuda tersebut tidak pernah terlihat lagi kecuali dalam keadaan tidak isbal
hingga wafat.” (HR Al-Baihaqi dan Ahmad, dishahihkan oleh Syakih
Al-Albani di As-Shahihah 6/411)
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Daftar Pustaka :
1. Al-Qur’an dan terjemahannya
2. Tafsir Ibnu Katsir, Darul Fikr
(Beiruut)
3. Ruuhul Ma’aani, As-Sayyid Mahmuud
Al-Aluusi, Dar Ihya At-Turoots (Beiruut)
4. Syarah Al-Ushul min ilml ushul,
Syaikh Utsaimin, Dar Al-Bashiroh
5. Al-Minhaj (Syarah Shahih Muslim),
Imam Nawawi, Dar Al-Ma’rifah
6. Mudzakkirah Usul Fiqh, Syaikh
Muhammad Amin Asy-Syinqithi, Dar Al-Yaqin
7. Sunan At-Tirmidzi, Maktabah
Al-Ma’arif
8. Sunan Abu Dawud, tahqiq Muhammad
Muhyiddin Abdilhamid, terbitan Darul Fikr
9. Muwatta’ Malik
10. Sunan Ibnu Majah
11. Sunan An-Nasa’i
12. Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro,
tahqiq Muhammad Abdul Qoodir ‘Ato, Maktabah Darul Baaz
13. Musnad Imam Ahmad, terbitan
Maimaniah
14. Al-Mu’jam Al-Kabiir,
At-Thobroni, tahqiq Hamdi bin Abdilmajid As-Salafi, cetakan kedua, Maktabah
Al-Ulum wal Hikam
15. Musnad Asy-Syamiyiin,
At-Thobrooni, tahqiq Hamdi bin Abdilmajid As-Salafi, cetakan pertama, Muassasah
Ar-Risaalah
16. Mushonnaf Ibni Abi Syaibah,
tahqiq Kamal Yusuf Al-Huut, cetakan pertama Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh
17. At-Targhib wat tarhiib,
Al-Mundziri, tahqiq Ibrahim Syamsuddiin, cetakan pertama, Darul Kutub
Al-‘Ilmiyah
18. Riyadhus Shalihin, tahqiq Sayikh
Al-Albani, Al-Makatab Al-Islami. Dan tahqiq Syu’aib Al-Arnauth, Muassasah
Ar-Risalah
19. Fathul Bari, Ibnu Hajar, Dar
As-Salam, cetakan pertama
20. An-Nihayah fi Goribil Hadits,
oleh Ibnul Atsir, tahqiq Syaikh Kholil Ma’mun, Dar Al-Ma’rifah
21. Al-Qoul Al-Mubin fi Akhtho’
Al-Mushollin, oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman, dar Ibnul Qoyyim, cetakan
ketiga tahun 1995
22. Syarah Riyadus Shalihin, Syaikh
Utsaimin, Dar Al-’Anan
23. At-Tamhiid, Ibnu ‘Abdilbarr,
tahqiq Mushthofa bin Ahmad Al-‘Alawi, cetakan Wizaaroh Umumul Awqoof (Magrib)
24. Fathul Malik bi tabwibi
At-Tamhid Li Ibni Abdil Bar Ala Muwatto’ Al-imam Malik, Ust DR Mustafa Sumairoh
9/384, Darul Kutub Ilmiah
25. Hadduts Tsaub wal Uzrah wa
Tahrim Al-Isbal wa Libas As-Syuhroh, Syaikh Bakr Abu Zaid, Darul ‘Asimah
26. Al-Isbal ligharil khuyala’,
Walid bin Muhammad Nabih bin Saif An-Nasr
27. Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah,
Syaikh Al-Albani
28. Ad-Dalil Al-Masaq fi itsbati
sunnati wadli torfil qomis ila nisfis saq, Abdul Qodir Al-Junaid, Muassasah
Ar-Royan
29. Siyar A’lam an-Nubala’, Imam
adz-Dzahabi, tahqiq Syu’aib Al-Arnauth dan Muhammad Nu’aim, cetakan ke 9,
Muassasah Ar-Risalah
30. Majmu’ Fatawa wa Maqoolaat mutanawwi’ah,
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, tartib wa isyroof DR Muhammad bin Sa’d
Asy-Syuwai’ir, terbitan Riasah idaarotil buhutsil ‘ilmiyah wal iftaa’, cetakan
ke 3 tahun 1423 H
31. Majmu’ Fatawa wa Rasaa’il,
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Darul Wathon
Related posts:
Video
Dakwah
Berlangganan
- Kritik dan Saran
- Tulisan Terkini
- 4 Amalan Menggapai Cinta Ilahi
- Bagaimana sikap kita terhadap Film Innocence of Muslim
- ISBAL ?? NO !! Apa sih susahnya? wong tinggal ninggikan celana sedikit? Kan, masih tetap keren?
- Syarat Halalnya Jual Beli Kredit
- Fikih Haji (4): Wajib Haji
- Fikih Haji (3): Rukun Haji
- Fikih Haji (2): Tiga Cara Manasik Haji
- Fikih Haji (1): Hukum dan Syarat Haji
- Bukti Bahwa Istighfar dan Taubat termasuk Kunci Rezeki
- Diary Syaikh Ibnu Utsaimin
- Kumpulan Ceramah MP3
jazakallahu khair....
BalasHapusterus semangat...
waiyyaki
Hapus